Adie Prasetyo

Because History Must be Written

Tentang Miskin dan Pemimpin (1)

Posted by Ndaru Nusantara pada 3 Juni 2010

Eko Prasetyo, kembaran saya itu, telah menulis dengan kritis beberapa tema, misalnya Orang Miskin DILARANG Sekolah dan Orang Miskin DILARANG Sakit. Sarkas sekali tulisan-tulisan Mas Eko itu. Tiada lain sebagai bentuk PERLAWANAN dan upaya mendekonstruksi wacana-kebijakan pemerintah yang memang serba menyusahkan ORANG MISKIN. Baca lanjutannya

Saya sebenarnya punya tema menarik juga dengan judul ORANG MISKIN DILARANG JADI PEMIMPIN.  Ide dasarnya, jika kita menengok ke sejarah pendirian negara ini, rasa-rasanya hampir tidak ada pemimpin yang dilahirkan dari keluarga miskin. Secara genealogis, mereka umumnya dilahirkan dari keluarga berdarah biru (kebanyakan amtenar dan tokoh agama). Sukarno, Hatta, Hasyim Asyari, Tan Malaka, Sjahrir, dan sebagainya itu berlatar keluara ningrat. Walau kemudian dalam perjuangan di masa-masa selanjutnya mereka tercatat “miskin” itu persoalan lain.

Sebab, dari kemiskinan itu seseorang akan kehilangan sebagian besar hak-haknya. Baik itu hak yang telah melekat dalam dirinya (hak kemanusiaan), maupun hak-hak lain produk eksternal. Bagaimana mau jadi pemimpin, wong akses ekonominya dipangkas? Bagaimana mau jadi pemimpin, wong akses pendidikannya diterlantarkan? Dan, bagaimana mau jadi pemimpin hebat bila ia sakit tak ada yang mengobati? Saya boleh bilang, bermimpi jadi pemimpin pun, bagi orang miskin itu haram hukumnya. Cita-cita tersebut justru akan menjadi beban.

Ada hal yang repot lagi. Reformasi diakui membuka akses dan kebebasan bagi seluruh penduduk (yg ngerti) untuk ikut serta (katanya) dalam proses pengambilan keputusan dan pengambilan kebijakan. Angin segar reformasi ini juga dihirup oleh orang-orang miskin yang punya cita-cita besar: ingin jadi pemimpin (tepatnya pejabat). Kita mencatat, (belum diriset sih) banyak orang yang tadinya miskin ikut masuk dunia politik dan kemudian naik pangkat menjadi pejabat. Repotnya, kalau sudah dapat jabatan ini mereka pada umumnya melakukan apa yang disebut BALAS DENDAM.

Dulu saya miskin kok, susah ini dapat jabatan bro.” Banyak yang terlena dan kemudian lupa akan latar belakang sebelumnya. Alih-alih berusaha mengangkat saudara-saudaranya yang sama-sama miskin, mereka ini justru menumpuk-numpuk harta-jaringan untuk kesenangan pribadinya. Ia sambil berujar, “Saya ini tetap idealis seperti dulu. Dan, untuk merealisasikan idealisme itu, saya harus mengumpulkan pundi-pundi terlebih dahulu. Bagaimana kita mau melawan kapitalisme kalau kita sendiri miskin?”

Ada benarnya perkataan itu. Tapi menurut saya, itu lebih dari sekadar alibi untuk menyenangkan hatinya saja. Sebab, kebanyakan dari mereka ini tidak mau berbagi, walau seribu perak, untuk perjuangan melawan kemiskinan. Alasannya bisa bermacam-macam (maklum politisi bro). Kapital dan jaringan yang mereka kumpulkan itu pada akhirnya akan habis untuk menumpuk dan menumpuk kapital lagi (sifat manusia: serakah). Daftar perusahaan ini itu, lembaga tetek-bengek, yayasan sono sini, dan sebagainya. Intinya, mereka jadi terlena dan lupa.

Mental inilah yang merusak bangsa, merusak perjuangan. Saya juga tidak mampu menggaransi diri. Oleh karena itu, saya belajar dari pengalaman. Semoga terjadi kearifan. (—->

Tinggalkan komentar