Adie Prasetyo

Because History Must be Written

Demokrasi Kok Miskin?

Posted by Ndaru Nusantara pada 2 Juni 2010

Tulisan ini saya buat bulan Maret 2010. Selain alasan yang “ideal” saya menulis artikel ini karena saya lapar. Berharap tulisan tersebut dimuat di koran dan honornya dapat memperpanjang nafas. Seketika punya ide jadi the gost writer, seperti judul buku Roman Polanski (heeee…). Nemu jalan deh. Beberapa hari sebelumnya saya ketemu seorang tokoh nasional yang jarang (atau tidak sempat) menulis tetapi punya gagasan. Saya wawancara sebentar dan mohon ijin untuk dikirim ke koran. Alhamdulilah diijinkan. Singkat kata, tulisan ini kemudian dimuat di Bisnis Indonesia, tertanggal 15 Mei 2010. Baca Selanjutnya

———-

Dalam langgam sejarah nasional, saat ini kita berada pada babak pematangan (konsolidasi) demokrasi yang berarti membumikan nilai-nilai demokrasi itu sendiri agar tak berjarak dengan rakyat.

Membumikan demokrasi, menurut proklamator Bung Hatta (1960), berarti menyeimbangkan berjalannya demokrasi politik dengan demokrasi ekonomi. Sebab, demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik, harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka.

Kita layak bersyukur telah berhasil melampaui proses pratransisi dan transisi di bidang demokrasi dengan aman dan damai.

Namun, kita tidak boleh terlena begitu saja karena masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Ibarat sebuah tanaman; saat ini akar, ranting dan daun demokrasi telah mekar bersemi di bumi Indonesia.

Tugas selanjutnya tiada lain adalah terus merawat, memberi pupuk dan menyiramnya, agar buah demokrasi itu lekas tumbuh dan dapat dipanen oleh masyarakat banyak.

Dalam bahasa yang lebih lugas, seluruh pranata, struktur dan infrastruktur demokrasi yang terbangun tidak akan memberi dampak yang mendalam kepada rakyat, apabila masih ada sekat dalam ruang kontestasi ekonomi.

Sebagaimana tertulis dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945, yang dimaksud dengan demokrasi ekonomi adalah suatu keadaan ekonomi di mana “produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.”

Prioritas utama politik perekonomian yang demokratis adalah diletakkannya kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang.

Namun dalam pengamatan empiris, kinerja ekonomi kita masih terdapat kekurangan. Misalnya, kesenjangan ekonomi antarpelaku, antarwilayah, antarsektor, dan antarkelompok pendapatan. Sebagai contoh, menurut majalah Forbes (edisi 11 Maret 2009), di antara nama-nama orang kaya kelas dunia terselip lima nama orang kaya dari Indonesia yang memiliki harta di atas US$1 miliar.

Mereka adalah Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono, dua bersaudara pemilik Grup Djarum. Kemudian Sukanto Tanoto, pemilik imperium bisnis Raja Garuda Mas (RGM) Grup; Martua Sitorus, pendiri Wilmar International; serta Peter Sondakh, pendiri Grup Rajawali. Mereka pula yang kini menjadi lima orang terkaya di Indonesia.

Sementara itu di sudut lain, tingkat kemiskinan dan pengangguran masih cukup mengkhawatirkan. Sebagaimana dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS: 2009), jumlah penduduk miskin Indonesia saat ini sebesar 14,15% atau sebanyak 32,53 juta jiwa, sedangkan tingkat pengangguran sebagaimana dilaporkan BPS menunjukkan, pada Agustus 2008 mencapai 9,39 juta jiwa atau 8,39%. Pada Februari 2009 angka pengangguran terbuka berkurang menjadi 9,26 juta atau 8,14%.

Menilik data tersebut, jelas terdapat kesenjangan yang sangat lebar antara kaum yang kaya dan kaum papa. Hal ini disebabkan oleh struktur ekonomi kita masih dikuasai oleh sebagian kaum pemodal kakap yang nota bene kurang memiliki kepedulian kepada struktur masyarakat di bawahnya.

Meminjam istilah mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli, struktur ekonomi Indonesia saat ini lebih menyerupai gelas anggur. Di puncaknya dikuasai kelompok kecil usahawan dengan menguasai 90% ekonomi nasional, sementara di tengahnya pengusaha menengah sangat kecil jumlahnya.

Pada lapisan bawah adalah ekonomi rakyat yang terdiri dari usaha mikro, usaha kecil dan koperasi yang merupakan kelompok paling besar, dengan basis penguasaan ekonomi yang sangat kecil.

Struktur ekonomi semacam ini tentu sangatlah tidak sehat dan merugikan kalangan ekonomi kecil (UMKM). Apalagi ditambah dengan absennya negara dalam memberdayakan dan mengembangkan sentra-sentra UMKM sebagai jantung perekonomian rakyat.

Untuk itu, diperlukan keberpihakan yang kuat dari segenap unsur pemerintahan, baik dalam segi kebijakan maupun pelaksanaannya, terhadap sektor UMKM.

Sebab, memedulikan, memberdayakan dan mengembangkan UMKM sama saja dengan memberikan napas bagi kaum miskin untuk beranjak lepas dari kemiskinan. Lebih dari itu, pola pemberdayaan yang dikembangkan juga harus bersifat jangka panjang.

Membuka akses

Dalam hal ini, pemerintah wajib memberi akses yang luas di bidang permodalan, akses SDM, teknologi dan informasi dan pemasaran agar sektor UMKM benar-benar dapat menjadi tulang penyangga ekonomi rakyat.

Bukankah selama ini sektor UMKM merupakan ‘dewa penolong’ saat kita terjerembap krisis? Dapat kita lihat, saat ini sebesar 85,4 juta orang atau 96,18% dari total tenaga kerja yang ada ditampung oleh UMKM.

Jumlah ini meningkat 2,62% atau 2,1 juta orang dibandingkan dengan 2005. Kontribusi usaha kecil dalam menyerap tenaga kerja tercatat sebanyak 80,9 juta orang atau 91% dan usaha menengah sebanyak 4,4 juta orang atau 5%.

Di luar semua itu, memang harus ada tindakan ‘luar biasa’ yang di dalamnya didukung oleh keberanian, ketekunan, keseriusan, kerja keras dan pemihakan yang adil agar rakyat dapat ikut serta menikmati ‘buah’ demokrasi.

Kehendak juga ini harus didukung dengan perubahan tata kelola ekonomi, dari sistem neoliberalisme (kapitalisme) oleh economic hitman, menuju sistem ekonomi kerakyatan yang dikelola oleh aktor-aktor prorakyat miskin.

3 Tanggapan to “Demokrasi Kok Miskin?”

  1. Rangga said

    Demokrasi atau democrazy kalau begitu? Susah bener ternyata ya menggunakn sistem demokrasi?

  2. meee said

    wakakkak ghost writer kok ngaku…..

Tinggalkan Balasan ke meee Batalkan balasan